Selasa, 08 Agustus 2023

boso wong kalongan iku yo unik lhur.

Lahir di Pekalongan jelas saya terinfeksi penuh budaya dan kultur masyarakat Pekalongan Jawa Tengah. Apalagi sudah sejak kecil saya tinggal di Kota Batik ini, tepatnya di pesisir Pantai Utara. Jarak dari rumah ke pantai kurang dari satu kilometer. Jadi, kalau kamu-kamu mau main ke tempat saya boleh banget. Oleh karena sejak kecil menggunakan bahasa dan dialek Pekalongan, saya sedikit kerepotan ketika berbicara dengan orang lain dari luar Pekalongan. Saat mempraktikkan berdialog menggunakan dialek bahasa Pekalongan di Semarang, banyak teman yang nggak mengerti. Begitu pula saat saya di Jogja, Malang, atau Surabaya. Dialek Pekalongan itu unik, oleh karena itu nggak mudah dipahami orang luar, hanya warga Pekalongan sendiri. Ini serius. Jangankan buat warga yang lokasinya jauh dari Pekalongan. Kadang dialek dan bahasa Pekalongan nggak bisa dipahami atau berbeda makna dengan mereka yang berdomisili di kota yang satu karesidenan sama Pekalongan. Misalnya untuk orang Pemalang. Kata “bathir” meski sama-sama berbahasa Jawa, memiliki makna berbeda di Pekalongan dan Pemalang.
Di Pekalongan “bathir” maknanya pembantu, tapi “bathir” bagi orang Pemalang artinya teman. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana repotnya ketika orang Pekalongan ngobrol sama orang Pemalang? Kurang lebih bakalan begini, Si A (Orang Pemalang) bilang, “Mas, gelem dadi bathirku rak?” Sontak, si B yang orang Pekalongan matanya langsung terbelalak. Mengira dirinya disuruh jadi pembantu. Perihal sapaan beda lagi. Kalau seluruh Nusantara mengerti kata “Jancuk” yang berasal dari Jawa Timuran itu sebagai sapaan akrab mereka. Dan kini hampir semua orang mengerti akan itu, di Pekalongan tentu nggak berlaku. Bukan menganggap “Jancuk” kasar, tetapi orang Pekalongan biasa menyapa dengan sapaan lain. Biasanya buat lebih akrab, orang Pekalongan akan menyapa menggunakan kata “Lhoh”, “Lhem”, “Lhur”, “Mhad”. Kata sapaan ini agak susah dimengerti orang-orang di daerah lain. Saya pernah mencobanya. Di Jogja, kebetulan bertemu teman saya sama-sama Pers Mahasiswa (Persma), ketika saya sapa memakai kata “Lhem“, teman saya itu kebingungan. Mungkin dikira saya mau nge-lem kali ya. Duh~ Dialek Pekalongan mempunyai kosakata yang lumayan sukar dimengerti orang luar. Bahkan saking lokalnya, bahasa-bahasa Pekalongan menjadi ciri khas orang Pekalongan ketika berpergian. Contohnya kata “kotomonoho”, ini bukan bahasa Jepang, melainkan bahasa Pekalongan asli. Maknanya seumpama, jadi dalam contoh kalimatnya seperti ini “kotomonoho nek aku lungo, kowe tak jak yo dek.” (Seumpama aku pergi, kamu aku ajakin ya dek). Selain “kotomonoho” ada kata yang jika dipikir-pikir maknanya hampir mirip tapi sebenarnya untuk penggunaannya berbeda. Kata “mbopoho” yang artinya barangkali. Kalau “kotomonoho” dipakai di awal kalimat, “mbopoho” ini biasanya ditaruh di tengah. Kedua kata tersebut, bisa dipakai saat orang Pekalongan berharap, atau belum tahu terjadi tidaknya suatu kejadian. Misalnya, “kowe ngger ngumah bae yo nduk, mbopoho ono tamu mengko!” (Kamu di rumah saja ya nak, barangkali ada tamu nanti)

Sumber Artikel dari kotomonodotco : Uniknya Dialek Pekalongan yang Repot Kalau Dipraktikkan di Daerah Lain https://kotomono.co/?p=8948

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di perempatan tanggal 24

kabar baik, aku bertemu dengannya pada saat pemberhentian lampu merah:D HAHAHA ku panggil namanya, dan ia menoleh. ku beranikan diri untuk m...